17.10.10

Atas Nama Fitrah Manusia

Setiap detak waktu yang berdenyut di dalam kehidupan kita pada hakikatnya adalah sebuah kesempatan untuk kita memintal benang-benang pakaian ketakwaan. Bukan hanya sekedar untuk menyingkap tubuh renta ini, namun lebih dari itu. Membalut hati dari segala yang dapat membuat sakit ruhiyah ini karena keterlenaan pada dunia yang berujung pada dosa. Segala hama penyakit jiwa yang bersumber dari satu permasalahan berupa kemaksiatan kita kepada Allah swt. Dia telah menjamin tentang kedudukan mulia pakaian takwa ini:

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat” (Al Araf : 26)

Sebuah harapan yang senantiasa bersandar di dalam sanubari, bahwasanya kita menginginkan pakaian terbaik itu dapat kita peroleh di penghujung fase hidup kita di dunia. Terjaga dari polusi dosa yang meninggalkan bercak noda hitam diri kita di mata Allah swt. Inilah sebuah fitrah. Sekumpulan isyarat batin yang pastinya ingin berujung pada sebuah kebahagiaan hakiki. Fitrah manusia ingin mendapatkan kebahagiaan di mana pun mereka berada.

Warna hidup manusia adalah perpaduaan antara kebahagiaan dan kepapaan. Ini adalah corak dasar mosaik-mosaik kehidupan. Namun pastinya jika harus memilih, pastinya akan lebih cenderung memilih kebahagiaan dibandingkan sebuah kesengsaraan. Hanya saja yang sekarang menjadi sebuah pertanyaan adalah apakah upaya menggapai kebahagiaan yang sedang kita lakukan sekarang apakah benar-benar akan berujung kepada sebuah kebahagiaan hakiki?

Inilah yang seharusnya kita renungi bersama. Bagaimanapun fitrah hati ini tak akan pernah bisa dikelabui oleh siasat dunia. Ketahuilah bahwa fitrah hati ini sebenarnya tersiksa dan merana ketika kemaksiatan dan syahwat sedang menguasai diri kita. Rasa sakit dan ketersiksaan hati yang amat sangat karena sentuhan dosa-dosa yang telah diperbuat. Hanya saja kita jarang pernah peduli kondisi kefitrahan hati ini. Sehingga karenanya hati menjadi sakit dan mengeras kemudian menjadi mati.

Hati yang mati ini adalah sebagai dampak karena kita senantiasa menganggap ringan kemaksiatan dan dosa. Tanpa terasa, dosa-dosa itu telah terhimpun menjadi gundukan kepedihan hati. Fitrah hati yang sesungguhnya menuntut untuk disejukan dengan kebahagiaan mengenakan pakaian takwa akhirnya terabaikan karena diri kita sudah tertunggangi hawa nafsu. Kenikmatan yang luar biasa ketika kita diberikan cita rasa tertinggi dengan merasakan indahnya melaksanakan ketaatan kepada Allah pun pudar. Hingga akhirnya kita pun terjebak dalam palung kesengsaraan. Naudzubillah...

Fitrah bukan hanya sekedar menjadi hujjah sebagai pemakluman atas segala keterbatasan manusia karena diciptakan oleh Allah dalam kondisi demikian. Tapi fitrah ini sesungguhnya adalah ketertundukan jiwa terhadap kehendak Allah swt dalam segala keadaan. Hati yang bersih itu adalah fitrah karena Allah sangat menyukai setiap hamba-Nya yang memiliki hati yang bersih. Jiwa yang tawadhu itu adalah fitrah karena bahwasanya Allah Maha memiliki segala pujian yang baik dibandingkan hamba-Nya yang tak berarti sama sekali dibandingkan kekuasaan-Nya. Lisan yang berdzikir itu adalah fitrah karena Allah senang mengingat hamba yang selalu mengingat-Nya. Bahkan kesudahan yang baik berupa khusnul khotimah pun sebenarnya adalah fitrah. Karena Allah dengan Maha Pengasihnya, pasti berkehendak menganugerahkan yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya di setiap labirin waktu kehidupan ini.

Namun sayang, dalam kenyataannya sebagian besar dari kita tidak menginginkan hidup sesuai dengan fitrah yang diinginkan Allah swt. Sehingga makna fitrah itu sendiri menjadi terkucilkan bahkan menjadi hujjah atas kemaksiatan kita terhadap Allah swt. Kita mencintai sesuatu selain Allah terkadang disebut dengan fitrah, padahal rasa cinta ini seharusnya ditempatkan pada porsi yang tepat kepada Sang Pemberi cinta yaitu Allah swt. Kita merasa lemah tak berdaya oleh gemerlap dunia yang menipu juga terkadang disebut dengan fitrah, padahal Allah sangat Mencintai setiap hamba yang berjuang di jalan-Nya.

Fitrah dunia yang sesungguhnya hanya menjadi tempat persinggahan sementara, terkadang dijadikan tujuan utama para manusia. Jiwa yang sering terlena dengan gincu-gincu duniawi yang melenakan, lebih senang menyandarkan pengharapan kebahagiaannya pada kerapuhan dunia ini. Akibatnya, wujud kepuasan batin yang seharusnya terlampiaskan dalam bentuk kezuhudan terhadap dunia ini akan terkikis oleh ambisi-ambisi syahwati yang tak akan pernah ada habisnya. Hanya lelah yang menjadi sebuah keniscayaan dan kesengsaraan yang menjadi ujung sebuah penantian kita.

Atas nama fitrah manusia, kita harus menyadari dan memahami apa tujuan hakiki kita hidup di dunia yang fana ini...



Asrama Peradaban LPI, 11 Oktober 2010

Shoutul Qalam